Blangkon Antara Sejarah, Penutup Kepala, Nilai Filosofis hingga Simbol Strata Sosial

Blangkon, ikat kepala khas dari tanah jawa ini begitu unik dan istimewa. Hal ini karena dalam proses penciptaannya melibatkan unsur sejarah dan filosofi tinggi yang mana ada pesan tersirat di dalamnya.

blangkon raksasa
pariwisata.bantulkab.go.id

Menurut beberapa sumber penutup kepala unik dan khas ini telah muncul sejak penanggalan kalender Jawa ada. Aji Saka tak lain adalah orang yang menciptakannya manakala ia mengalahkan raksasa jahat Dewata Cengker dengan modal kain blangkon.

YOUR EXISTING AD GOES HERE

Sumber lain mengatakan bahwa penutup kepala ini datang seiring masuknya ajaran Hindu dan Islam pada jaman dulu. Pedagang dari Gujarat yang datang kala itu menggunakan penutup kepala yang dikenal surban.

Hal ini menginspirasi para raja untuk membuat hal serupa. Hanya saja karena tanah Jawa khas dengan kain batiknya maka bahan pembuat bukan lagi dari kain putih melainkan kain batik. Para pedangang yang masuk ke Jawa melalui beberapa titik mengakibatkan jenis dan bentuk blangkon berlainan.

Ada juga sumber yang mengatakan bahwa penutup kepala ini sengaja di cipta para raja melalui para seniman karena pada jaman itu mereka mengalami krisis kain. Biasanya mereka menggunakan ikat kepala persegi berukuran 105 cm x 105 cm. Namun dengan blangkon ini bisa menghemat setengahnya.

Tak ubahnya dengan topi penghias kepala ini juga dibuat dengan cara yang sangat rapi dan memperhatikan unsur keindahan. Sejak jaman dulu telah dipercaya bahwa rambut atau kepala yang dalam bahasa Jawa Mustoko dianggap sebagai sesuatu yang harus diperlakukan dengan cara istimewa.

YOUR EXISTING AD GOES HERE

Oleh karena itu para seniman membuat blangkon bukan hanya sebagai alat untuk melindungi kepala. Selain bisa melindungi dari terik panas dan hujan penutup kepala ini diharap mampu memancarkan keindahan dan kegagahan.

Filosofi Blangkon

Usut punya usut ternyata blangkon memiliki filosofi transcendental antara mahluk dengan pencipta -Nya. Bila diperhatikan maka blangkon akan memiliki dua ujung kain yang mana satu mensimbolkan syahadat Tauhid dan satu lagi mensimbolkan syahadat Rasul.

Bila dua syahadat tersebut disatukan maka akan menjadi syahdat ‘ain. Bila pertemuan dua syahadat tersebut diletakan diatas kepala artinya berada di tempat yang terhormat. Harapannya segala pemikiran yang keluar dari kepala didasarkan pada sendi-sendi Islam.

Kini dalam perkembangan waktu, dari ikat kepala juga dapat diketahui asal usul seseorang. Di dalamnya terdapat identitas yang di wakili oleh wiron, jabehan, cepet, waton, kuncungan, corak dan ragam hiasnya.

Semakin tinggi nilai yang diwakili maka kelas sosial pengguna blangkon dipastikan akan semakin tinggi pula. Namun tetap saja nilai utama yang hendak disampaikan adalah bentuk pengendalian diri. Jangan sampai kepala sebagai pusat dari tindak tanduk tidak terkontrol dengan baik.

Nilai filosofis lain yang ada terlihat dari ada tidaknya mondolan. Konon mondolan adalah bentuk representasi dari orang Jawa khususnya Jogja yang suka menyembunyikan perasaan. Perasaan yang disembunyikan tersebut pada akhirnya akan muncul juga.

Tapi anggapan ini ditepis oleh para ahli sejarah. Dari sumber yang ada mondolan ini digunakan Belanda sebagai bagian dari perang Devide Et Impera yang mana kala itu untuk Kerajaan Surakarta mereka telah menggenal alat cukur sehingga sering potong rambut dan membuat rapi.

Sementara itu Kerajaan Yogyakarta belum begitu mengenal alat cukur sehingga rambut tetap panjang. Agar tetap rapi maka diikat di bagian belakang dan menunjukan mondolnya.

Jadi jangan salah dalam mempersepsi warisan budaya yang satu ini. Jangan sampai di era millennium ke tiga ini masih terjabak ajaran VOC.

Pos terkait