Bohong kiranya bila judul tersebut di amini. Sudah bukan rahasia umum lagi kalau momen jelang pernikahan menjadi fase yang paling banyak menyedot energy. Bukan hanya karena akan terjadi perubahan status dalam KTP saja.
Lebih dari itu akan timbul satu tanggung jawab terhadap pasangan. Bagaimana menafkahi secara lahir dan batin secara layak atau berkecukupan. Belum juga nikah kepala sudah nyut-nyutan mikir ini dan itu.
Mulai ribetnya adat atau aturan main dari kedua orang tua dan birokrasi hingga menyamakan keinginan atau persepsi kedua mempelai. Bagi orang Jawa tentu akan memperhatikan penanggalan yang mana ada hari baik dan yang bukan.
Konon salah ambil hari maka pernikahan tidak akan bertahan lama. Boleh percaya atau tidak tapi bagi beberapa keluarga hal itu masih berlaku, khususnya masyarakat Jawa.
Belum lagi kalau masing-masing pihak memiliki konsep atau persepsi yang berbeda. Ada sesuatu yang sederhana bisa menjadi sangat ribet.
Dulu ketika masih sendiri mungkin bisa mengatakan uang bukan segalanya. Tapi kini tanpa uang ternyata semua tidak akan berjalan dengan mulus. Itu semua tentu tak akan terjadi masalah bila ada dana yang cukup.
Pertanyaanya kini, apa yang harus dilakukan bila dana belum ada. Apa harus menunda pernikahan padahal nikah adalah sesuatu yang “harus” disegerakan bila ada sepasang kekasih yang telah cukup umur dan mampu.
Mungkin solusi yang bisa diambil dalam menghadapi galau jelang nikah adalah duduk bersama dan membicarakan kembali hingga ketemu titik temu. Bagaimana segala perbedaan dan kendala itu terpecahkan dan masing-masing pihak cukup puas. Tak ada pihak yang merasa dikalahkan atau dinomorduakan.
Itu juga kalau pernikahan dianggap sebagai sesuatu yang esensi dimana dua orang menjadi satu. Jangan sampai faktor penambah menjadi utama dan mengalahkan yang utama. Konyol kiranya bila sebuah pernikahan harus gagal hanya karena hal-hal yang tidak esensial.
Cinta itu sederhana, begitu kata orang bijak. Tapi kini untuk memaknai hal tersebut bersama pasangan menjadi PR besar. Cinta tidak lagi sederhana melainkan menjadi sesuatu yang kompleks dimana satu sama lain berkaitan dan tidak bisa diselesaikan dengan hati semata tapi juga membutuhkan akal sehat karena menua itu pasti dan dewasa itu pilihan.