Kehidupan keraton tidak lepas dengan orang-orang yang ada di dalamnya. Selain keluarga kerajaan masih ada abdi dalem yang senantiasa mengabdikan dirinya untuk raja atau lebih tepatnya untuk kebudayaan.
Abdi dalem sendiri adalah sebuah gelar kehormatan bagi pegawai keraton. Mereka senantiasa akan menghormati dan mentaati semua perintah yang diberikan.
Bila diperhatikan ada yang khas dengan sosok yang senantiasa mengenakan pakaian Jawa ini yang mana tak ada satupun yang mengenakan alas kaki alias ‘nyeker.‘ Hal ini berlaku pada abdi dalem dengan pangkat tertinggi hingga terendah.
Nyeker di sini adalah tidak mengenakan alas kaki saat bertugas di lingkungan keraton. Tidak mengenakan alas kaki atau nyeker adalah upaya untuk menaati peraturan yang ada.
Peraturan tersebut tertuang dalam sebuah peraturan tertulis yang disebut peranatan. Peranatan adalah sebuah dokumen Karaton Kasultanan Yogyakarta yang dibuat ketika ada acara-acara tertentu.
Dalam sebuah peranatan, terdapat seperangkat aturan mengenai tata cara berbusana abdi dalem dalam acara tertentu. Selain terdapat dalam peraturan tertulis, ‘nyeker’ juga menjadi paugeran.
Paugeran itu sendiri adalah peraturan yang sudah dilakukan sejak zaman dahulu dan tidak boleh terdapat perubahan di dalamnya. Meski tidak tertulis tapi berlaku dengan sendirinya.
Apabila ada abdi dalem yang tidak mematuhi paugeran maka akan mendapat peringatan atau sanksi. Selain itu Wilayah Kasultanan Yogyakarta dianggap sebagai tempat yang suci dan harus dihormati.
Seperti halnya masjid atau tempat ibadah, wilayah Kasultanan Yogyakarta harus dijaga kesuciannya dengan cara tidak memakai alas kaki saat berada di wilayah tersebut.
Yang termasuk wilayah Kasultanan Yogyakarta adalah Karaton Ngayogyakarto Hadiningrat, Makam Raja-raja Kotagede dan Imogiri, Petilasan Panembahan Senopati Cepuri Parangkusumo, dan Gunung Merapi.
Orang-orang yang diharuskan tidak mengenakan alas kaki di lingkungan tersebut adalah abdi dalem, kerabat karaton, dan masyarakat yang mengenakan pakaian peranakan.
Mereka yang menjadi abdi dalem biasanya bersifat turun temurun. Dari ayah ke anak kemudian ke cucu dan seterusnya.
Untuk menjadi abdi dalem juga bukan sesuatu yang mudah. Ada serangkaian ujian yang harus dilewati dan kemudian bila lolos akan dikukuhkan atau di wisuda. Hal ini tercermin dari loyalitas atau kesetiaan yang terlihat tanpa batas.
Nyeker selain dilakukan oleh para abdi dalem ternyata juga dilakukan oleh istri raja baik itu permaisuri ataupun selir. Selain itu juga para pangeran dan putra putri raja.
Selain nyeker ada lagi yang khas dengan ucapan ‘Sendiko dawuh.’ Menjadi jawaban wajib manakala raja telah bertitah dan tidak bisa mengatakan tidak.
Abdi dalem bukanlah sebuah profesi melainkan sebuah pengabdian. Lebih tepatnya abdi budaya keraton yang berusaha sepenuh hati menjaga nilai-nilai budaya yang ada.
Termasuk didalamnya adalah melestarikan dan mengembangkan kebudayaan yang menjadi tuntunan masyarakat yang ada di dalamnya.
Abdi dalem tidak pernah menuntut kompesasi atas apa yang dikerjakan. Bahkan bisa dibilang upah mereka jauh dibawah rata-rata. Upah bukan menjadi ukuran dalam hal keiklasan bekerja.
Kontributor: Reza Widhayaka – UNY