Lama tak ku sentuh buku catatan yang senantiasa menemani sejak zaman kuliah. Satu tempat yang biasanya digunakan untuk sekadar menuangkan ganjalan hati, unek-unek atau sesuatu yang sok idealis yang tiba-tiba terlintas dikepala.
Tak ada yang istimewa memang, apa yang ditulis hanyalah kegelisahan atas apa yang saya lihat di sekitar. Bukan berkara benar atau salah, baik atau buruk, semua itu lebih pada ungkapan ingin mengatan ini adalah saya.
Meski kadang semua itu menyakitkan, dan enggan menulis. Tapi tetap saya paksakan untuk mencoba menggerakan jari. Tak usah berpikir, apa yang ada tinggal dikeluarkan, tak perlu mencari dan berangan apa yang harus diutarakan, cukup memuntahkan.
Semua ada tinggal berani tidak untuk menghadapi kenyataan bahwa saya seperti itu terlepas dari pandangan orang bahwa saya termasuk dikubu yang mana
Baca Juga: Menulis, Antara Idealisme dan Memberi Manfaat
Masihkan Idealis itu Ada?
Satu pertanyaan yang harus saya jawab, “masihkan idealis itu ada?” Atau hanya sebatas transaksional berpikir untung rugi semata.
Pernah saya merasakan disuatu masa yang sangat menyakitkan, bukan kehilangan sesuatu atau ditinggalkan orang lain. Namun, ketika kawan terbaik saya berkata bahwa apa yang saya yakini selama ini salah semua.
Semua yang saya ajukan tidak bisa direalisasikan, semua itu hanya ada dalam teori saja dan berlaku di dalam realitas.
Teori yang tidak bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan tidak memberi perubahan. Padahal itu semua adalah teori atau lebih tepatnya wacana yang saya pahami dan menjadi keyakinan.
Baca juga: Menjadi Beda Tak Selalu Buruk
Berdamai dengan Hati Atau Mengingkari
Berawal dari rasa penasaran dan kucoba mencari jawab dengan segala macam dan akhirnya saya bersepakat dan bersekutu dengan hati dan pikiran bahwa itulah yang dicari.
Selama ini apa yang saya lakukan dan pelajari pelan-pelan saya arahkan pada keyakinan tersebut. Dalam bahasa ekstrim menjadi ideologi eksklusif bahwa yang lain pasti tidak memilikinya.
Saya ingin menjadi orang yang berbeda dengan segala kekhasan dan keunikan yang saya miliki. Mempertahankan sifat idealis dalam tiap langkah.
Sesuatu yang saya agung-agungkan bahwa tak ada orang lain yang memiliki sama persis dengan ideologi saya. Satu wacana yang mengarahkan pada satu titik tertinggi, “Itulah yang kucari dalam hidup.”
Meski karenanya saya akan kehilangan banyak hal tapi setidaknya masih ada yang tersisa, tak lain dan tak bukan adalah idealisme.
Keyakinan yang menurut beberapa kawan sama sekali tidak berarti, keyakinan yang tidak bisa membuat kita berkembang dan maju untuk menjadi manusia yang lebih baik. Tak sedikit yang mengatakan bahwa itu hanya akan membatasi apa yang seharusnya saya lakukan dan raih.
Terlalu mengkotak-kotakan atau mungkin malah mengucilkan diri sendiri dalam ruang hitam dan gelap. Dunia yang sebenarnya teramat luas untuk dijelajahi dan dipelajari mengkerdil, menjadi kecil karena pola pikir yang salah atau lebih tepatnya kurang tepat.
Dunia yang tak akan habis memberi pemahaman dan kekaguman bahwa setiap kita belajar dan tahu akan membuat kita akan lebih tahu. Menjadi candu yang mengharuskan kita akan rakus ilmu pengetahuan, membuat lupa akan usia kita yang sebenarnya dan segala sesuatu ada masanya.
Ada tugas-tugas sosial dan pribadi yang harus di lalui sesuai dengan usia. Jangan sampai terlena dengan segala kenyaman karena itu akan menjebak dan menipu.
Kesadaran yang kita rasakan bila semua telah berakhir akan membuat kita tidak memaknai bahwa apa yang telah kita lakukan selama ini bukanlah sesuatu yang sia-sia.