Bagi mereka yang tinggal di kampung atau desa tentu tak asing dengan kegiatan Nyadran. Satu kegiatan berupa kenduri yang di dalamnya terdapat pembacaan Al Quran, dzikir, tahlil dan doa bersama di area makam yang diakhiri dengan kegiatan makan-makan.
Kegiatan ini cukup populer di Jogja dan Jawa Tengah. Hal ini karena memang yang mengajarkan Nyadran adalah para wali.
Dimana kala itu masyarakat Jawa yang mayoritas telah mendapat ajaran Hindu – Budha. Agar tidak bertentangan dengan ajatan yang telah ada sebelumnya maka para wali mengganti dengan doa bersama.
Kegiatan ini biasanya dilangsungkan sebelum memasuki bulan Ramadan atau dalam kalendar Jawa dilakukan pada bulan Ruwah.
Nyadran berasal dari bahasa Sanskerta ‘Sraddha’ yang artinya keyakinan. Ritual yang dilakukan sebelum doa bersama adalah bersih-bersih makam yang biasanya ditumbuhi rerumputan.
Ada juga yang mengatakan bahwa Nyadran berasal dari kata sadran yang berarti ruwah syakban. Pendapat tersebut memang ada benarnya juga karena kegiatan ini dilangsungkan pada bulan ruwah.
Mayoritas warga akan menggelar tradisi ini pada hari ke 10 bulan Sya’ban. Tak lupa dilakukan tabur bunga diarea makam para leluhur dan bunga yang disaratkan harus ada adalah bunga telasih.
Bunga telasih menjadi simbol kedekatan antara arwah yang telah meninggal dengan keluarga yang ditinggalkan. Mereka yan didoakan bukan saja hanya para leluhur, tapi seluruh anggota keluarga yang telah meninggal.
Puncak acara yang ditandai dengan kenduri biasanya akan diikuti oleh seluruh warga dan sanak saudara yang pulang dari rantau. Kegiatan ini juga dapat meningkatkan komunikasi antara satu orang dengan yang lain karena mereka terlibat dalam satu acara yang sama.
Para peserta kenduri biasanya membawa makanan sendiri seperti ayam ingkung sebagai amar makruh nahi mungkar dan sego gurih sebagai simbol ketuhanan yang esa. Selain itu biasanya akan ditambah beberapa lauk atau menu lain yang kemudian disantap bersama-sama.