Tukang Parkir dan Pak Ogah, Bagaikan Jamur di Musim Hujan

Dua profesi diatas dapat dikatakan sebagai penanda bahwa suatu wilayah telah cukup padat. Profesi yang kadang dibenci tapi (lumayan) dibutuhkan. Saat ini begitu mudah menemukan keduanya di Kota Pelajar, kota yang dulunya tidak begitu bising dengan deru mesin.

tukang parkir
wajibbaca.com

Tak ubahnya Jakarta, Kota Gudeg kini telah menjadi magnet dalam berbagai sector. Bukan hanya untuk meraih pendidikan yang lebih baik dan wisara tapi juga untuk investasi. Mau bukti, silakan datang dan lihat di pusat kota begitu banyaknya tempat perbelanjaan yang menawarkan harga selangit.

YOUR EXISTING AD GOES HERE

Bisa dibilang hanya untuk sebuah produk seperti baju dan sepatu memiliki harga hampir mendekati dan ada juga yang lebih dari satu kali UMP Jogja. “Ngeri-ngeri sedap,” begitu kata Sutan Batoegana tapi itulah realita.

Seiring membaiknya ekonomi tentu dibarengi dengan berbagai fasilitas dan kenyamanan. Salah satu indikatornya tentu saja adanya kendaraan yang berlimpah dengan roda 4 atau lebih.

Semakin banyaknya kendaraan yang menjejali ruas jalan otomatis akan membuat jalan menjadi sempit yang mana satu sama lain akan berebut jalan untuk lebih dulu. Bila ingin mudah maka berharaplah hada Pak Ogah atau yang biasa disebut polisi cepek.

Merekah inilah yang akan membantu proses penyeberangan karena mereka rela mempertarukan nyawa hanya untuk koin Rp 500,-an. Luar biasa bukan.

YOUR EXISTING AD GOES HERE

Selain Pak Ogah masih ada satu lagi yang akan tumbuh subur. Mereka ini adalah Tukang Parkir yang mana mereka seringkali muncul saat pengendara akan pergi. Entah mereka berasal dari mana, yang pasti saat si pemilik akan pergi mereka telah “mengadang.”

Kehadirannya bisa dipandang secara optimistic ataupun pesimistik. Kalau berpikir positif tentu saja kendaraan akan lebih aman meskipun secara fakta mereka mengaku tidak bertanggung jawab bila terjadi keilangan karena sebatas parkir bukan penitipan hingga garansi kehilangan atau kerusakan.

Tapi bila dipandang secara negatif tentu akan muncul pertanyaan. Enak sekali mereka yang tak punya lahan bisa mendapat hasil berlimpah karena jalanan mayoritas milik pemerintah dan mereka belum tentu melakukan setoran retribusi kecuali yang memang resmi.

Apapun itu kini keduanya menjadi bagian dari problematika masalah perkotaan dan Jogja telah terkena imbasnyah. Berpikir positif dan tersenyum tentu akan jauh lebih baik daripadah mengkritisi mereka dan menggeretu.

Pos terkait