Falsafah Jawa ‘Urip Iku Urup’ itu begitu mengena dan pas bila diajarkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana tiap individu memiliki komitmen untuk menjadi manusia yang berguna dan memiliki nilai lebih untuk orang lain.
Sudah saatnya tiap orang bertanya apa yang telah kita berikan untuk orang lain. Bukan saatnya lagi mempertanyakan apa yang orang lain berikan kepada kita.
Mungkin karena Urip Iku Urup maka Jogja menjadi kota yang begitu nyaman. Aura kebersamaan dan kehangatan itu begitu terasa dan menempel pada tiap orang yang ada di dalamnya.
Memaksa setiap orang yang pernah berkunjung untuk datang kembali. Seolah ada yang memanggil bahwa Jogja adalah pilihan terbaik.
Diera modern yang mana pada umumnya setiap tindakan dikonversi dengan nominal. Lain halnya bila ajaran tersebut diamalkan.
Setiap orang akan berlomba-lomba untuk memberikan yang terbaik. Memberi menjadi satu gaya hidup dan akan menular satu sama lain.
Kearifan lokal yang begitu terlihat dengan tutur kata yang santun menjadi ciri khas utama. Senyum, salam dan sapa seolah menjadi gaya hidup bagi siapa saja yang masuk di dalamnya.
Ajaran yang mungkin agak sedkit tertinggal untuk masyarakat perkotaan yang sudah mulai terkontaminasi dengan ajaran barat. Lain halnya bila kita bergerak ke pinggir atau pedesaan, nilai-nilai ini masih begitu kuat terasa.
Tak ayal kini, objek wisata dipedesaan mampu meraup nilai lebih bila mereka mampu mengemas ‘Urip Iku Urup’ dengan memadupadankan apa yang masyarkat cari saat ini.
Tumbuhnya desa wisata dan penginapan berbasis pedesaan menjadi celah bahwa ajaran kebaikan masih bisa diterapkan dalam sektor pariwisata kalau kita jeli melihatnya.