Rembang petang di bulan ramadan, saya memacu kendaraan melintas perempatan lampu merah pojok beteng wetan. Sepeda motor melaju menuju selatan, menyusur Jalan Parangtritis yang mulai semarak dengan orang-orang lalu-lalang berbelanja takjil.
Sudah pukul 5 sore, sebentar lagi waktunya berbuka. “Tiitt…tiiittt…” bunyi klakson menggema dari pengemudi ojek online yang tak sabaran.
Sebagian lainnya misuh-misuh karena kaget melihat emak-emak ngeloyor menyeberang tanpa memberi tanda lampu sein. Rasanya tak seperti seloroh Jokpin, Jogja kiwari bukan hanya terbuat dari rindu, pulang dan angkringan tapi juga kesemerawutan lalu-lintasnya.
Saya memperlambat laju kendaraan, membelok ke arah kiri (timur) tepat di Jalan Parangtritis No 90-80. Di depanku terpampang bangunan megah dengan 4 soko guru bercat hijau dan 2 soko guru raksasa yang mengapit gerbang utamanya.
Pasar Prawirotaman Baru kian Modern
Di atas gerbang, terdapat simbol Kota Yogyakarta dengan tulisan “Pasar Prawirotaman” lengkap dengan aksara Jawa di bagian bawahnya. Mengikuti tanda masuk di sisi selatan, kendaraan saya bawa menuju ruang parkir di basement.
Setelah memarkir kendaraan, bergegas menuju pintu lift satu-satunya di Pasar ini. Letaknya menyempil di pojok timur laut basement.
Bersama beberapa orang yang juga hendak berbuka puasa di food court, saya meluncur naik menuju lantai 4. Dari basement kami naik melewati lantai 1 sampai 3 yang berisi 619 pedagang pasar tradisional.
Mereka menjajakan sembako, jajanan, daging dan sayur mayur khas pasar rakyat. Disebut pasar tradisional namun fasilitasnya ala mall, lengkap dengan escalator untuk tiap lantainya, ATM center dan QR code untuk pembayaran transaksinya.
Berbeda dengan lantai 4 yang buka dari pukul 08.00 sampai 20.00 malam, jam operasional untuk pedagang pasar tradisional lantai 1-3 disudahi pukul 16.00 sore. Tak berapa lama kami tiba di lantai 4.
Baca juga: 12 Tempat Terindah Menikmati Senja di Jogja
Senja di Rooftop Pasar Prawirotaman
Keluar dari lift langsung disambut 2 front office dengan senyuman ramah, mempersilakan menggunakan handsanitizer dan menerapkan protokol kesehatan selama di lingkungan pasar. Setelah menyampaikan maksud dan tujuan, kami diarahkan menuju food court di sisi barat.
Sambil mengobrol kami berjalan melintasi mushola, area co working space, ruang studio musik, studio podcast, ruang kesehatan, meeting room, mini lounge, ruang laktasi, serta ruang bermain anak. Beberapa fasilitas ini kabarnya disewakan oleh pengelola lantai 4, yaitu UPT Pusat Bisnis.
Konon pembangunan atau revitalisasi Pasar Prawirotaman Baru ini dibiayai dengan anggaran belanja negara (APBN) tahun 2019 dan 2020 sebesar Rp 67,7 miliar. Kemudian ada juga bangunan pasar yang dibiayai oleh Dana Keistimewaan (Danais) yaitu khusus lantai 4 Pasar Prawirotaman, sebesar Rp 2 miliar.
Berbeda dengan pengelolaan di lantai 1 sampai 3 yang mengusung konsep retribusi jasa umum, pengelolaan di lantai 4 diarahkan pada konsep bisnis murni dan pengembangan ekonomi kreatif Kota Jogja. Dari 17 Subsektor ekonomi kreatif yang ada, Pasar Prawirotaman Baru mewadahi setidaknya 11 Subsektor seperti fotografi, kuliner dan pengembangan aplikasi.
Tiba di area food court sebelah utara, kami disuguhi panggung outdoor yang disediakan untuk berbagai event kesenian dan fasilitasi bagi ekonomi kreatif di Kota Gudeg. Namun foodcourt di sisi utara belum aktif menjajakan makanannya.
Kami masih harus melintas ke sisi selatan untuk menyambangi stand penjaja kuliner. Di tempat ini tersedia nasi goreng, aneka steak dan sea food.
Saat bedug maghrib hampir berkumandang, kami bergegas menaiki tangga besi bercat gelap di sisi barat menuju rooftop. Dari atas sini terhampar pemandangan Kota Jogja lengkap dengan warna jingga matahari yang mulai terbenam di ufuk barat.
Dipadu dengan nyala lampu-lampu merkuri khas ornamen Kesultanan Jogja, senja kali ini terasa syahdu.
Nyatanya Jogja tak melulu terbuat dari rindu, pulang dan angkringan…tapi juga terbuat dari senja di rooftop Pasar Prawirotaman Baru.