“Gitu aja kok repot,” satu kalimat yang akan merujuk pada satu nama yang tak lain dan tak bukan adalah Abdurrahman Wahid atau yang biasa disapa Gus Dur. Tokoh Pluralisme demikian banyak orang menjulukinya atas toleransi yang luar biasa atas nama keberagaman.
Keberagaman yang sempat manis dirasakan kini terancam dengan adanya pasal karet dalam balutan Undang-Undang Informsai dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dimana seseorang yang mengeluarkan gagasan bisa saja dianggap melakukan ujaran kebencian.
Fakta nyata dialami oleh salah satu jurnalis tanah air Dandhy Dwi Laksono dimana ia dilaporkan ke pihak yang berwajib atas dasar dugaan menghina dan menebarkan kebencian terhadap seseorang atau suatu golongan.
Hal itu tentu tidak akan terjadi bila masing-masing pihak tahu dan faham akan porsinya. Sebagai gambaran harusnya yang merasa dirugikan memberikan hak jawab atau klarifikasi atas apa yang sebenernya terjadi.
Bila hukum represif yang dikedepankan yang terjadi adalah kemunduran. Seolah kembali ke masa Orde Baru dimana pluralisme dan keberagaman itu dikebiri.
Sesuatu yang menjadikan semua menjadi indah. Bukan pengkotak-kotakan atau kodefikasi yang pada akhirnya akan memecahbelah dan menghancurkan bangsa.
Bagaikan lilin yang rela hancur untuk menerangi kehidupan sekitar. Ia tak pernah jera memperjuangkan keberagaman sebagai aset bangsa meski harus menghadapi kenyataaan pahit.
Cacian dan makian atas segala ide biasa ia terima hingga yang paling parah fisiknya pun turut dihina. Meski semua itu datang bertubi-tubi dan tidak ada niatan untuk membalas dendam.
Yang ada justru Kyai asal Jombang ini akan berkata, “Saya tidak perduli, mau popularitas saya hancur, difitnah, dicacimaki, atau dituduh apapun, tapi bangsa dan negara ini harus diselamatkan dari perpecahan.”
Tak ayal ungkapan itu akan menyejukkan para pendukungnya. Dimana perlakukan negatif itu bukan untuk dibalaskan. Kalau berfikir dengan gaya saat ini bisa saja Presiden RI ke-4 ini memenjarakan siapa saja yang berbuat jahat kepadanya, tapi nyatanya tidak.
Gagasan tentang pluralisme bukan hanya diwacanakan Gus Dur dalam karya tulis atau pidatonya. Namun ia benar-benar menunjukan dalam dunia nyata hingga tercatat dalam sejarah.
Tak dapat dipungkiri bila pada masa lalu umat Islam kurang bisa menerima Pancasila sebagai dasar negara. Ada sebagian faham yang ingin mengganti khususnya sila pertama. Gus Dur dapat dikatakan sebagai sosok yang mampu mendamaikan umat Islam dengan Pancasila tanpa ada gesekan berarti.
Selain itu penerimaan bangsa Indonesia asli (pribumi) dengan pendatang juga mampu diemban Gus Dur. Menurutnya keberagaman itu adalah satu fakta nyata di tanah air dan tidak dapat dielakkan. Tak ada satupun orang ataupun golongan yang berhak untuk menguasai atas golongan yang lain.
Bila tidak ada Gus Dur< mungkin Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) masih menjadi komoditi politik dagang yang renyah. Lagi-lagi hadirnya cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) ini mampu mendamaikan. Kini isu SARA dapat dikatakan kurang laku dan berbobot. Selain tingkat pemahaman masyarakat yang kian baik tentu ada andil Gus Dur didalamnya. Menjadi prestasi tersendiri bagi bangsa Indonesia ketika sosok Gus Dur berani menyatakan bahwa Hari Imlek adalah Hari Libur Nasional. Padahal seperti yang diketahui pada masa Orde Baru hal-hal yang berbau Tionghoa kurang bisa diterima. Namun kini berkat perannya, setiap tahun bangsa ini turut serta suka cita menikmati perayaan tahun baru yang identik dengan warna merah tersebut. Saat ini tidak ada lagi stigma pribumi dan non pribumi, yang ada adalah bangsa Indonesia. Semua yang tinggal di tanah air memiliki hak yang sama tanpa ada perbedaan sedikitpun.