Shein menjadi salah satu brand fashion online yang namanya kian populer beberapa tahun terakhir. Brand ini menawarkan beragam pakaian dengan model trendi dan harga terjangkau, baik untuk wanita, pria, maupun anak-anak.
Shein Indonesia raksasa industri Fashion dikenal berkat model fast fashion-nya. Konsep ini memungkinkan perusahaan memproduksi dan merilis gaya pakaian baru dengan cepat.
Shein Indonesia sendiri beroperasi pada 2018. Namun sempat berhenti melayani penjualan fesyen di tanah air pada 2021 ketika brand asal Tiongkok tersebut memutuskan untuk hengkang.
Performa Shein di Industri Fashion
Permintaan tinggi di industri fashion terlihat dari pertumbuhan Shein. Pada 2022, Shein mencatat GMV sebesar 22,7 miliar dolar, hampir menyamai ZARA dengan 23 miliar dolar, meski hanya beroperasi online. Sementara, Amazon meraih revenue 220 miliar dolar, Shein justru mencapai 10% dari angka tersebut.
Dengan 88 juta pengguna global, termasuk 17 juta di AS, SHEIN berhasil bersaing dengan brand besar lainnya dan dirumorkan akan melakukan IPO dengan valuasi 66 miliar dolar di AS.
Merebaknya Isu Pelanggaran Kekayaan Intelektual Shein
Belakangan, Shein kerap disorot lantaran tengah menghadapi kritik terkait dugaan pelanggaran kekayaan intelektual. Sebagai perusahaan berbasis online dengan pengikut besar di media sosial, Shein harus menjaga keseimbangan antara melindungi desainnya sendiri dan menghormati hak intelektual pihak lain.
Hal ini penting untuk mempertahankan reputasi dan kredibilitas di industri fashion yang kompetitif. Tuduhan pelanggaran kekayaan intelektual bukan hal baru bagi Shein. Beberapa pihak menuduh mereka mencuri desain dari desainer independen yang lebih kecil.
Meski Shein membantah klaim ini dan menyatakan memiliki tim desainer sendiri, tuduhan tersebut tetap memicu perdebatan tentang etika dalam mode cepat. Perlindungan hak kekayaan intelektual tidak hanya penting untuk mengamankan kreasinya, tetapi juga menjaga kepercayaan publik terhadap mereknya.
Kontroversi Terkait Sampah Produksi
Shein memang tak lepas dari kritik, meskipun kinerjanya luar biasa. Shein dan perusahaan fesyen serupa sangat bergantung pada manufaktur di China. Pada awal 2022 saja, China memproduksi 6 miliar meter kain pakaian.
Selain itu, Shein beroperasi seperti platform e-commerce. Perusahaan membebankan sebagian biaya dan risiko kepada pemasok pakaian independen.
Dengan model ini, Shein dapat menekan biaya produksi dan menjual ribuan barang per hari dengan harga lebih murah. Namun, pemasok juga menanggung risiko barang yang tidak laku, dengan lebih dari 90 persen produk yang diproduksi tidak populer.
Pelanggaran Serius Seputar Tenaga Kerja
Kontroversi masih berlanjut. Pada Februari lalu, Shein merilis Laporan Dampak Keberlanjutan pertamanya setelah mendapat keluhan soal transparansi. Dari 700 pemasok barangnya, 83 persen menghadapi risiko besar, sementara 12 persen melakukan pelanggaran serius.
Pekerja di bawah umur ditemukan di kurang dari satu persen perusahaan mitra yang diperiksa. Laporan dari Swiss Watchdog dan Public Eye mengungkapkan pekerja di pabrik Guangzhou, China, bekerja 11-12 jam sehari selama tujuh hari seminggu.
Sementara itu, hanya ada satu hari libur per bulan. Shein menyatakan telah menerapkan kode etik dan bermitra dengan perusahaan audit seperti Bureau Veritas untuk memastikan kepatuhan mitra mereka.
Shein Menjadi Ancaman Produk UMKM Lokal
Isu kontroversi juga menguak di Indonesia. Sebagian besar barang Shein diproduksi di Tiongkok dengan efisiensi tinggi dan biaya produksi murah, memungkinkan mereka menjual produk dalam jumlah besar dengan harga rendah.
Model cross border e-commerce yang mereka gunakan mengancam keberlangsungan UMKM lokal. Pasalnya, produk impor dapat dijual langsung tanpa melalui pemeriksaan pabean.
Harganya jauh lebih murah, sehingga produk Shein berpotensi memicu predatory pricing, yang mengancam daya saing produk lokal di pasaran. Akibatnya, UMKM dalam negeri kesulitan bersaing dan kelangsungan bisnis mereka pun terancam.
Oleh karenanya, pemerintah mengambil langkah untuk melindungi UMKM dari dampak negatif perdagangan lintas batas, seperti predatory pricing oleh pedagang asing. Beberapa kebijakan yang diterapkan meliputi kewajiban NPWP untuk impor, peningkatan bea masuk, dan pembatasan produk impor.
Selain itu, pemerintah memperbarui Peraturan Menteri Perdagangan No. 50/2020 yang melarang penjualan barang impor di bawah Rp 1,5 juta untuk menjaga daya saing produk lokal. Kebijakan-kebijakan ini bertujuan untuk mendukung pertumbuhan UMKM dan mengurangi ketergantungan pada produk impor.
Referensi
https://www.kompasiana.com/mayubbasyirrahail6689/64756e984addee390c1cfa53/praktik-bisnis-tidak-etis-brand-mode-fast-fashion-shein-asal-china
https://www.google.com/amp/s/news.detik.com/abc-australia/d-6018990/shein-menjadi-perusahaan-terkenal-di-china-saat-ini-tapi-ada-yang-dikorbankan/amp
https://willypujohidayat.medium.com/shein-masif-penuh-kontroversi-berujung-ipo-4bfbd69bdec6