Kata Jogja seolah menjadi mantra yang sangat sakti. Membuat siapa yang mendengarnya seolah terpanggil. “Saya harus ke kota itu,” entah untuk liburan, belajar atau sekedar membunuh waktu.
Kota yang begitu mudah dikenang hingga beberapa musisi mencipta lagu dengan judul atau tentang Jogja. Terlalu banyak alasan untuk dikatakan kenapa harus kota penuh sejarah ini.
Pendapat yang bukan tanpa alasan. Terlalu mudah menemukan alasan untuk kembali. Ada yang terkesan karena keindahan objek wisata alam, budaya, sejarah hingga kearifan lokal masyarakat setempat. Sisi lain Jogja ini akan lebih terasa bila kita bisa interaksi dengan masyarakat.
Khusus bagi kamu yang tinggal di kota besar dan metropolitan mungkin akan menemukan pengalaman atau sensasi yang pudar dan jarang ditemuin. Keramahan warga, sesuatu yang sudah jarang di kota besar begitu mudah ditemukan di tempat ini.
Dalam tataran ekstrim mungkin bagi kamu yang biasa hidup dengan biaya besar akan heran manakala menapaki Jogja. Untuk kenyang di Kota Gudeg ini cukup ditebus dengan beberapa lembar uang seribuan, bandingkan dengan Jakarta.
Waktu seolah berjalan lambat dalam romantisme. Semua orang pasti betah berada dalam suatu kondisi tanpa deru knalpot dan polusi. Kring kring sepeda seolah bisa menebus kecepatan bila memang di kejar waktu.
Saat galau, menyepilah ke sudut Kota Jogja. Bila perlu bercengkerama dengan para abdi dalem. Begitu banyak nilai-nilai yang mereka ajarkan dalam kehidupan.
Di jaman serba modern ini masih ada mereka yang bertahan dengan kesederhanaan. Menjadi gaya hidup yang lekat dan tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam beberapa tahun terakhir, desa wisata menggeliat. Menawarkan sesuatu yang beda, seolah menjadi anti tesis atau jawaban atas kegelisahan masyarakat modern.
Walhasil kini mereka yang berasal dari negara maju yang menjadi segmen mereka. Mengajarkan cara hidup yang lebih berpihak pada alam. Seolah desa wisata-desa wisata tersebut jawaban dari isu dunia tentang global warming.
Tak ada lagi listrik berlebih. Tak ada lagi suara mesin. Hening, kala malam mereka akan lupa dengan kerasnya dunia. Pagi tiba mereka akan dibangunkan kokok ayam jantan.
Mandi di sungai dan memandikam kerbau tentu memiliki sensasi tersendiri. Bisa juga ke sawah membajak dan menanam padi. Keseruan tak berhenti disitu tapi saat sarapan dan makan siang.
Beralas daun dan menyantap sayur ala kadarnya. Terlebih setelah berkeringat dan semua itu menjadi obat yang mujarab.
Pulang dari aktifitas di sawah masih banyak agenda dipilih. Mulai bermain musik atau kesenian tradisional hingga olahraga tempo dulu.
Jadi buat kamu yang belum merasakan sisi lain jogja dengan keseruan seolah kembali ke tahun 70an jangan bangga. Malu dong kalau warga asing saja sudah mencicipinya sedang kamu warga lokal belum pernah merasakannya.