Angkringan menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan kehidupan masyarakat Jogja. Terutama kehadirannya mampu memberikan alternative bagi kalangan berkantong pas-pasan agar bisa senantiasa mengisi perut.
Tak susah untuk menemukan warung remang-remang ini dalam arti sebenarnya. Biasanya tak butuh waktu lama untuk menemukan satu loksai dengan lokasi yang lain. Warung sederhana ini ada di pinggir jalan dengan penerangan temaram yang terangnya mirip nyala lampu Senthir.
Dalam sejarahnya ternyata angkringan masuk ke Jogja sejak tahun 1950an. Orang yang paling berjasa membawa nama besar warung yang berasal dari kata angkring atau duduk santai ini adalah Mbah Pairo dari Cawas, Klaten yang tak lain bapak dari Lik Man pemilik Angkringan Tugu.
Seiring perjalanan waktu berjualan dengan cara dipikul ternyata membutuhkan tenaga yang tak sedikit hingga akhirnya berubah menggunakan gerobak. Hanya saja pikulan yang digunakan masih dipajang sebagai penanda bahwa warung tersebut adalah benar angkringan.
Selain Lik Man kini dengan mudah ditemukan pemuda asal Klaten yang membuka usaha serupa. Entah kenapa yang berjualan ini adalah kaum pria, bisa karena alasan bukanya dari sore hingga pagi sehingga rawan bila kaum hawa yang menjaganya atau entah karena alasan apapun.
Warung rakyat ini tidak saja hanya ada di Jogja. Tapi dengan mudah pula akan ditemukan disejumlah kota lain seperti Jakarta dan Bandar Lampung. Mereka juga biasanya membawa ”brand” angkringan Jogja atau Klaten.
Pada awalnya angkringan dijajakan dengan cara dipikul. Makanan yang dijajakan mulai dari nasi kucing dan aneka gorengan. Selain itu ada juga minuman segar yang terbuat dari jahe atau teh panas.
Tapi kini di warung unik ini sudah muncul berbagai menu yang lain khususnya untuk minuman. Seiring sejalan dengan banyaknya minuam sache turut disediakan.
Selain itu ada juga yang telah dimodifikasi sehingga menyediakan berbagai menu lain semisal nasi goreng. Jadi bisa dibilang angkringan hanya sebagai penarik perhatian saja.
Hanya saja perlu dicatat angkringan yang sebenarnya memiliki pakem berupa adaanya tiga ceret besar diatas tungku. Selain itu harus menjajakan nasi kucing dan aneka gorengan serta wedang jahe tentunya. Biasanya yang masih konsisten melakukannya adalah pedagang asli dari Klaten.
Kini di Jogja banyak ditemukan angkringan dengan segala keunikannya. Mulai dari varian yang disajikan, lokasi yang pilih hingga kadang ada fasilitas free wifi untuk para pengunjung.
Meski demikan angkringan tetaplah angkringan. Dimana ditempat ini para pembeli bisa berlama-lama bercengkerama dengan orang-orang sekitar meski hanya membeli satu gelas minuman saja. Satu kondisi yang tak akan mungkin bisa ditemukan dalam kafe atau rumah makan modern.