Ketika mendengar kata pariwisata Indonesia seolah akan membawa ke dua destinasi kalau tidak Pulau Bali ya Jogja. Seolah dua tujuan wisata tersebut selalu berebut tempat pertama. Mungkin bila ditelisik lebih jauh kedua objek wisata tersebut sebelas dua belas.
Setidaknya ada 3 hal yang sering diperbandingkan. Mulai dari keindahan objek wisata, kearifan lokal atau budaya hingga biaya hidup.
Untuk keindahan objek wisata tentu keduanya memiliki alam yang sama-sama luar biasa indah. Baik itu objek wisata pantai, gunung, hingga alam pedesaan.
Tak dapat dipungkiri nama Pulau Dewata jelas lebih diakui dunia karena konon nama Indonesia kalah terkenal dengan Bali. Sementara itu di Jogja ada nama Malioboro yang jauh lebih dikenal wisatawan asing daripada Jogja.
Yang menjadi istimewa tentu saja manakala berlibur ke Jogja tak perlu merogoh kocek terlalu dalam. Untuk biaya liburan di Jogja mungkin cukup setengah dari budget biaya liburan di Bali.
Sudah menjadi rahasia umum manakala biaya hidup di Jogja tergolong murah. Bahkan di Kota Pelajar ini masih bisa ditemukan nasi bungkus seharga tiket parkir sepeda motor.
Tak ada yang salah memang ketika terjadi dikotomi atau perbandingan, baik dari sisi kuantitas kunjungan maupun seberapa jauh retensi wisatawan. Retensi ini dapat diartikan sebagai keinginan untuk tinggal lebih lama atau keinginan untuk datang kembali.
Dengan adanya dikotomi tersebut setidaknya membuka wawasan bahwa Jogja masih bisa bersaing dengan Pulau Dewata untuk berebut pasar internasional dalam ranah pariwisata Indonesia. Meski banyak pekerjaan rumah yang harus diperbaiki tapi itu semua bukan sebagai alasan.
Sebagai contoh di Jogja ada Kampung Bule yang terletak di Prawirotaman. Dikampung tersebut terdapat banyak hotel, losmen atau penginapan yang hampir seluruhnya dihuni wisatawan asing.
Di sisi objek wisata pantai masih tersebar pantai perawan yang belum terjamah. Masih banyak objek wisata yang belum tergarap dengan baik.
Objek-objek wisata tersebut seringkali menipu bahwa sejatinya mereka sedan ada di Jogja tapi serasa di Bali. Selain itu masih banyak desa wisata dengan potensi keindahan alam dan kearifan lokal yang belum terekspos.
Sangat disayangkan bila itu semua tidak digarap dengan baik. Bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah tapi juga menjadi tanggung jawab seluruh warga Jogja. Bagaimana menjadikan sesuatu memiliki nilai tambah dan memberi kesan istimewa bagi seluruh wisatawan.
Jangan sampai dikotomi yang muncul membuat kita ciut untuk menggarap potensi yang ada. Sebagai contoh kini yang paling gencar menyajikan sesuatu yang baru adalah Pemerintah Daerah Kulonprogo.
Yang mana mereka dari objek wisata Waduk Sermo bisa berkembang menjadi berbagai objek wisata yang baru. Wajar kiranya bila terjadi ledakan pengunjung yang berimbas pada pendapatan pemerintah daerah sekaligus mensejahterakan warga sekitar.
Dan pada akhirnya tidak perlu diperdebatkan Bali atau Jogja. Semua sama baiknya karena liburan itu factor hati dan pikiran bukan serta merta factor eksternal semata.