Kembalikan Jogja Itu Murah dengan Teknologi Kekinian

”Jogja itu murah”. Mungkin ungkapan tersebut kini tak berlaku lagi. Dalam waktu yang hampir bersamaan ada 2 warganet yang mengeluhkan betapa mahalnya wisata kuliner di Jogja.

alun-alun kidul jogja
kanaljogja.id

Keluhan yang masih anget terjadi pada 9 November 2017 lalu yang dirasakan Dwiki Bagaskara yang berasal dari Sumatera. Dwiki beserta 2 temannya menyantap nasi goreng telur dengan 1 gelas es teh, 1 gelas teh anget tawar dan 1 gelas teh anget manis harus merogoh kocek Rp 88.000,-. Berdasar informasi yang ada 1 porsi nasi goreng dikenakan Rp 25.000,- sementara itu untuk es teh Rp 5.000,-.

Bacaan Lainnya

Kejadian serupa juga terjadi pada wisatawan lain saat mereka santap malam di Alun-Alun Selatan. Kali ini hal nahas dialami Arie Ridwan asal Bekasi.

YOUR EXISTING AD GOES HERE

Kejadian tersebut terjadi pada medio Agustus 2017 lalu. Arie kala itu wisata kuliner dengan memilih menu nasi Gudeg dan untuk minum dipilih es teh dan es jeruk. Untuk dua porsi makan dan minum tersebut ia harus membayar Rp 250.000,-.

Tak mau ribut dengan penjual karena hal-hal yang seperti ia pun menjualnya. Namun kini citra yang mengatakan Jogja itu murah diragukan hanya karena segelintir oknum.

Berbicara tentang wisata tentu saja bukan hanya membahas masalah objek wisata yang ada semata. Lebih dari itu tentu saja di dalamnya terdapat pihak-pihak yang akan turut serta memberi kenyamanan tak terkecuali adalah para pedagang.

Jangan sampai ulah satu dua oknum kemudian akan digeneralisasi. Yang ada kemudian wisata di Jogja itu mahal terutama sisi kulinernya. Yang rugi siapa kalau bukan para pedangan itu sendiri.

Hilangnya kepercayaan wisatawan kalau Jogja itu murah cepat atau lembat akan terjadi dan pada akhirnya mereka akan memilih makan diresto atau rumah makan yang memberi jaminan akan harga. Betapa lucunya bila ada wisatawan dari Jakarta enggan makan gudeg karena takut harga mahal dan beralih ke cepat saji.

Edukasi berkelanjutan harus dilakukan dinas pariwisata guna memastikan para pedangang menjual dagangan dengan harga normal atau sewajarnya. Lebih dari itu adalah servis yang baik karena Jogja itu adalah Kota Budaya.

Kota yang senatiasa mengunggulkan kearifan lokal. Sesuatu yang kini mulai tergerus dikota-kota besar. Menjadi satu paket tentunya bila satu dengan yang lain tidak terpisahkan.

Belajar dari apa yang dilakukan beberapa kota lain yang telah mengusung konsep Smart City. Dimana salah satu cara yang dilakukan adalah pemberian harga yang pasti untuk satu menu sehingga penjual tidak bisa manaikkan harga semena-mena.

Smart City itu sendiri dapat dikatakan sebagai kota inovatif. Dimana tekonologi kekinian hadir didalamnya. Teknologi dimaksud antara lain penggunaan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat didalamnya.

Bila hal ini berjalan dengan baik otomatis akan terjadi efisiensi dan penghematan dalam berbagai hal. Khusus dalam hal ini diharapkan dapat mengembalikan citra Jogja sebagai kota wisata kuliner dengan slogan ”Jogja itu murah.”

Lebih jauh bila tahapan ini berhasil maka akan mendukung proses pembanguan enam pilar yakni Smart Environment, Smart Living, Smart People, Smart Economy dan Smart Governance.

Bagi yang pernah berkunjung ke Lenggang Jakarta yang ada di Monas mungkin akan paham. Disatu kawasan tersebut terdapat ratusan atau mungkin ribuan pedangang. Tapi tak ada satupun pengunjung yang takut akan dikenakan harga yang mahal karena tarif telah diatur.

Yang lebih menarik tentu saja transaksi dilakukan dengan cara non tunai. Salah satu penyedia jasa yang bisa dipilih tentu saja e Money atau Flazz. Dengan demikian siapapun yang ingin wisata kuliner tinggal gesek saja.

Selain itu ada beberapa embrio start up anak negeri yang cukup baik dan bisa diterapkan. Salah satunya mereka yang punya konsep dimana semua menu yang ada memiliki barcode sehingga pembeli sebelum memilih bisa cek terlebih dahulu.

Sepintas mungkin agak susah karena butuh database yang sangat besar. Namun kini dibeberapa kota telah ada start up sejenis semisal di Jabodetabek terdapat Zomato.

Dengan aplikasi ini pengunjung dapat mengakses berbagai informasi terkait kuliner hingga rentang harga yang ditawarkan. Selain Zomato ada beberapa aplikasi yang cukup spesifik untuk masing-masing kota semisal di Surabaya terdapat Foodsessive dan Mangan untuk Kota Solo.

Jogja sebagai Kota Wisata yang didalamnya terdapat unsur wisata kuliner harusnya pun ada. Dengan demikian bisa dipastikan mereka yang berlibur ke Jogja akan merasa tenang. Selain mendapat rekomendasi tempat terbaik tentu saja harga yang bersahabat.

Adanya teknologi yang masuk dalam proses jual beli ini tentu akan memberikan rasa adil untuk kedua belah pihak. Calon pembeli akan tahu betul berapa uang yang harus dikeluarkan untuk menu yang diinginkan.

Jangan lagi ada kejadian para pembeli dalam hal ini wisatawan yang berkunjung ke Jogja kecewa karena hilangnya rasa Jogja itu murah. Mudahnya akses internet dan membagikan informasi menjadi satu kejadian buruk akan dikonsumsi ribuan orang diluar sana.

Pos terkait