Bagi orang Jawa khususnya orang Jogja pasti tak asing dengan penanggalan Jawa semisal Pon, Wage, Kliwon, Legi dan Pahing. Hal ini karena masih banyak nama mereka yang menggunakan nama pasaran tersebut.
Semisal mungkin kita akan mendengar nama Ngadiyo, Ngadinem, Tukiran, Ponijan, Ponirah dan lain-lain. Besar kemungkinan atau bisa dipastikan kalau nama orang tersebut adalah sesuai dengan hari dimana dilahirkan.
Perhitungan atau petung Jawa ini telah ada sejak zaman dulu dimana di dalamnya terdapat mitologi yang dimulainya dengan Batara Surya atau Dewa Matahari. Konon kala itu Batara Surya menyamar menjadi Brahmana Raddhi di Gunung Tasik.
Baca juga: Situs Gilang Lipuro Sejarah yang Terlupakan
Untuk memudahkan perhitungan atau penanda hari maka dibuatlah Pancawara atau lima bilangan dengan nama Pon, Wage, Kliwon, Legi, dan Paing. Dalam berjalannya waktu Brahwana Raddhi kemudian dijadikan penasehat Prabu Selacala di Gilingwesi.
Sistem penanggalan Jawa yang semula hanya ada 5 bilangan maka kali ini Brahmana Raddhi membuat 7 sesaji yang disesuaikan untuk para dewa yang jumlahnya 7. Jadi tiap hari aka nada satu sesaji untuk satu dewa.
Sesaji tersebut dimulai dari:
1. Sesaji Emas, untuk Matahari, pada awalnya diberi nama Radite dan sekarang disebut Ahad.
2. Sesaji Perak, untuk Bulan, pada awalnya diberi nama Soma dan sekarang disebut Senen.
3. Sesaji Gangsa atau bahan pembuat gamelan, untuk Api, pada awalnya diberi nama Anggara dan sekarang disebut Selasa.
4. Sesaji Besi untuk Bumi, pada awalnya diberi nama Buda dan sekarang disebut Rebo atau Rabu.
5. Sesaji Perunggu, untuk Petir, pada awalnya diberi nama Respati dan sekarang disebut Kemis atau Kamis.
6. Sesaji Tembaga, untuk Air, pada awalnya diberi nama Sukra dan sekarang disebut Jumat.
7. Sesaji Timah, untuk Angin, pada awalnya diberi nama Saniscara atau Tumpak dan sekarang disebut Sabtu.
Uniknya dimasa kerajaan yang dipimpin Sultan Agung ada penanggalan yang sangat mirip tapi sejatinya berasal dari bahasa Arab. Hal ini sebagai pengaruh datangnya ajaran Islam di tanah Jawa.
Kata-kata tersebut adalah Akhad untuk Ahad, Isnain untuk Senin, Tslasa untuk Selasa, Arba’a untuk Raby, Khamis untuk Kamis, Jum’at untuk Jumat, dan Sabt untuk Sabtu. Hingga saat ini system kalender Masehi masih menggunakan penanggalan 7 bilangan.
Tak sulit untuk menemukan kalender yang dipadukan antara penanggalan Jawa, Islam dan Masehi. Biasanya kalender Jawa dan Islam akan tertulis kecil dibagian pojok.
Dari angka-angka tersebut kemudian akan dicatat dalam buku besar yang bernama primbon. Meski era saat ini telah modern tapi masih banyak pihak yang percaya akan petungan dari primbon ini.
Baca juga: Sumbu Filosofi Jogja Menuju Warisan Budaya Dunia
Biasanya primbon ini akan digunakan pada saat menentukan tanggal nikah atau membangun rumah. Mereka percaya bila salah hitung atau salah pilih tanggal maka akan timbul kemalangan karena tidak diberkahi.
Hitungan penanggalan yang berjumlah lima hari ini seiring sejalan dengan ajaran Jawa tentang “Sadulur Papat Kalima Pancer” atau empat saudara sekelahiran, kelimanya pusat.
Bila diartikan maka jasad manusia itu terdiri dari 4 unsur mulai dari tanah, air, api dan udara. Empat unsur itu masing-masing mempunyai tempat di kiblat empat. Faktor yang kelima bertempat di pusat, yakni di tengah.
Jadi berdasar lima tempat atau lima bilangan itu kemudian menjadi tempat atau waktu lima pasaran, maka persamaan tempat pasaran dan empat unsur dan kelimanya pusat itu adalah sebagai berikut :
1. Pasaran Legi berada di sebelah timur, satu tempat dengan unsur udara, memancarkan sinar putih.
2. Pasaran Paing berada di sebelah selatan, satu tempat dengan unsur api, memancarkan sinar merah.
3. Pasaran Pon bertempat di sebelah barat, satu tempat dengan unsur air, memancarakan sinar kuning.
4. Pasaran Wage bertempat di sebelah utara, satu tempat dengan unsur tanah, memancarkan sinar hitam.
5. Pasaran Kliwon, berada di pusat atau di tengah, adalah tempat Sukma atau Jiwa, memancarkan sinar manca warna (bermacam-macam).
Penanggalan ini bukan hanya sebatas kalender Jawa tapi juga kearifan lokal masyarakat setempat di mana mereka masih percaya ada hari baik dan kurang baik. Percaya atau tidak tentu dikembalikan kepada masing-masing.