Ziarah Ari-Ari Satu Tradisi Masyarakat Urban Ungkapkan Kegelisahan

Pandemi memaksa siapa saja untuk lebih menahan diri untuk tidak beraktifitas di luar rumah. Hal ini berimbas pada tradisi masyarakat Jogja khususnya warga Tukangan untuk tidak menggelar ziarah ari-ari.

ziarah ari-ari
doc creativenet

Tradisi sarat kearifan lokal ini kali pertama digelar pada akhir bulan Oktober 2016. Bukan tradisi turun temurun tapi agenda ini bisa menjadi pengingat bahwa bumi semakin tua dan butuh perhatian khusus.

Ziarah Ari-Ari seyogyanya digelar tiap tahun ini juga sebagai pengingat bagi umat manusia akan siapa jati diri yang sesunguhnya. Selain itu tentu saja ada misi untuk menjaga budaya masyarakat setempat.

YOUR EXISTING AD GOES HERE

Tradisi unik yang melibatkan masyarakat sekitar ini digelar di area Ledok Tukangan, Kelurahan Tegal Panggung, Kecamatan Danurejan, Kota Jogja. Tepatnya persis di bantaran Kali Code.

Kali yang dulu identik dengan kata kumuh dan kotor kini telah disulap menjadi kampung kreasi. Di mana seluruh warga di ajak untuk bersama-sama merubah image menjadi lebih positif.

Ziarah Ari-Ari sebagai Bentuk Kegelisahan

Satu tradisi yang berasal dari keyakinan yang lahir dari budaya Jawa. Dimana sedulur ari-ari telah ada sejak dilahirkan dan dianggap sebagai saudara muda.

Dalam dunia medis ari-ari sering dikatakan sebagai Plasenta. Ari-ari meski dikubur tapi sejatinya akan selalu mendampingi dimanapun kita berada.

YOUR EXISTING AD GOES HERE

Konsepsi inilah yang kemudian diangkat pemuda setempat menjadi pagelaran. Konon, sedulur ari-ari ditugaskan semesta untuk menjaga saudara tuanya.

Oleh karena itu sedulur ari-ari harus dijaga, dirawat, dirawat dan dihormati. Sedulur ari-ari juga berperan sebagai pamamong atau penjaga manusia.

Setelah kegiatan ini diharapkan warga kampung Ledok Tukangan dan siapapun yang hadir akan lebih bisa mengenali ruang hidup dan jati diri.

Tradisi ziarah Ari-Ari dimulai dengan pertunjukan seni “Srawung Panggon”. Bercerita tentang proses adaptasi masyarakat urban dimana mereka pertunjukan ini dipentaskan di sekitar sumur, jemuarn dan halaman rumah.

Bercerita tentang kehidupan sehari-hari masyarakat setempat dari kehidupan lajang hingga berumah tangga. Tentu ada banyak masalah yang harus diselesaikan dan tiap orang akan memiliki sudut pandang yang berbeda-beda.

Selain itu ada pentas ketoprak kontemporer ‘Ari-Ari’. Kali ini akan bercerita tentang proses kelahiran manusia. Mengingatkan bahwa seseorang sebelum lahir akan melewati serangkaian proses mulai dari di dalam kandungan, dilahirkan, mendem atau mengubur ari-ari, hingga selamatan atau tasyakuran.

Pertunjukan tak berhenti di situ karena masih ada ruwatan dan labuhan Mbah Putih. Tarian ini di gelar di Kali Code oleh sejumlah penari mendampingi sosok yang dituakan.

Gerakan tarian adalah simbol dari bersinerginnya alam semesta dengan manusia itu sendiri. Ada doa yang didengungkan untuk menjaga energi positif dan menolak adanya bala / bencana di sekitar mereka tinggal.

Terakhir ada “Pendoa”, yang digelar di serambi Masjid Istiqomah. Berdoa dan berucap syukur kepada Tuhan atas segala nikmat yang telah di karuniakan. Apa yang di miliki manusia sejatinya adalah milik-Nya.

Pos terkait